Semua orang pernah punya
mimpi. Suka atau tidak suka, manusia setidaknya pernah bermimpi. Untuk sebagian orang, mereka dapat dengan mudah
mewujudkan mimpi mereka. Kebanyakan orang, harus bekerja sangat keras untuk mewujudkannya. Tapi ada pula yang diam-diam
menguburnya. Menurut saya, semuanya tidak ada yang salah. Semua orang berhak
untuk mengatur hidupnya sendiri. Saya sendiri lebih memilih menunda mimpi saya.
Kenapa menunda? Karena, someday, saya
mau berusaha untuk mewujudkannya kembali.
==
Saya suka menulis. Ralat, saya sangat suka menulis. Saya sudah mulai menulis sejak SD. Awalnya hanya menulis diary (yes, i did). Lalu saya
mencoba untuk menulis cerita. Cerita sehari-hari. Apa yang saya alami bersama
teman-teman saya. Semakin saya besar (karena kata “dewasa” rasanya belum tepat),
saya mulai paham bahwa menulis adalah
passion saya. Saya tidak lagi hanya
menulis cerita tetapi juga hal lainnya. Saya menulis tentang apa pun yang saya
pikirkan dan apa pun yang saya rasakan. Terhadap apa pun. Dan saya senang
hampir semua kerabat mengapresiasi tulisan saya. Yah...kadang saya juga
dikritik. But it’s okay. Berarti
mereka memang benar-benar membaca tulisan saya kan? Menulis sudah menjadi
semacam cara untuk menyeimbangkan hidup saya. Seperti kebanyakan orang yang
suka menulis, saya bermimpi bisa
menulis sebuah novel atau cerita anak-anak. Ya, saya bermimpi. Saya percaya
saya bisa mewujudkannya. Dan saya berusaha untuk mewujudkannya. Hal yang sedang
saya persiapkan adalah membuat cerita anak-anak “putri dan 5 prajurit” yang ide
awalnya saya ambil dari sini. Saya sudah membuat draftnya. Tapi saat ini *hela napas panjang* saya memilih untuk
menundanya.Dan seperti kebanyakan orang yang suka menulis, saya memiliki satu inspirasi besar. Hampir selalu hadir
dalam tulisan atau cerita yang saya buat. Dia pernah bilang, “biarkan otak lo berpikir liar, ris”.
==
Saya mengenal dia sudah
cukup lama. Hm...sekitar *ngitung pake jari* 8 tahun. Sejak dulu saya
mengenalnya sebagaik orang yang cerdas. Tanya apa saja pasti dia bisa jawab.
Dia sudah seperti RPUL. Hehe. Semakin lama saya mengenal dirinya, saya semakin
mengetahui seperti apa dirinya. Dia tidak hanya cerdas tetapi juga idealis.
Walaupun terkadang saya bisa merasakan bahwa dibalik keidealisannya, sebenarnya dia merasa getir, khawatir, cemas ataupun
takut. Saya sangat suka melihat dunia dari sudut pandangnya. Dunia tidak akan
pernah sama lagi (seperti apa yang selalu
pikirkan) jika melihat dari kacamatanya. Dia bukan lagi sekedar RPUL tapi
justru menjadi google buat saya. Intinya
saya sangat nyaman berteman
dengannya. Tapi ada hal yang sangat saya hindari yaitu bercermin tentang
perasaan saya walaupun saya juga sadar hal itu akan terjadi. Someday. Apa benar saya hanya sekedar
nyaman berteman dengannya? Dan ternyata someday
itu terjadi tidak lama sebelum ini. Awalnya saya enggan mengakuinya. Tapi
setelah bolak-balik bercermin saya
sadar bahwa saya jatuh hati padanya. Tadinya saya pikir ini seperti
cerita-cerita romantis menye-menye (don’t ask me about the meaning of menye-menye)
gitu. Tapi setelah saya cermati lebih dalam justru ini seperti cerita horror
thriller gitu. Dan saya tokoh utamanya. Karena saya bukan saja sekedar jatuh
hati tetapi saya juga ingin ‘mengambil’ apa yang dia punya. Kecerdasannya dan
idealismenya. Saya tidak sekedar menjadikannya tokoh dalam hampir semua cerita
saya tetapi juga menjadikannya bayang-bayang dalam hidup saya. Sebagian tulisan di blog ini adalah tentang dirinya,
mimpinya, dunia yang ia pandang, apa yang saya rasakan padanya, kata-kata yang
ingin saya ucapkan...intinya semua ada dianya.
Semua itu adalah realitas yang saya impikan. See? This is not romantic. This
is tragic. Seseorang bilang seharusnya saya perjuangkan itu. Tapi saya tahu
dia seperti apa, apa yang dia ingikan. Dan itu bukan saya. Bukan seperti saya. Dan saya tidak mau
menjadikan 8 tahun itu sebagai taruhannya.
==
Dan saya memilih jeda. Menetralisir kembali. Seperti orang yang sakit,
saya butuh bernapas lebih teratur, tidur, minum air putih yang banyak, atau
bahkan diinfus. Untuk itu saya menunda sementara waktu pengerjaan cerita
anak-anak (yang lagi-lagi emang ada dianya).
Saya sih inginnya berhenti sama
sekali untuk menulis. Tapi sepertinya itu sama saja dengan bunuh diri. Saya
akan tetap menulis. Pelan-pelan. Mungkin ini saatnya saya lebih mengkhawatirkan kondisi
saya sendiri.
Saya harap kalian memaklumi. Terima kasih untuk segala bentuk
dukungan, doa dan harapan dari kalian semua.
“Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?” (Dewi Lestari dalam Filosofi
Kopi)
Sampai jumpa (lagi),
Liris Kinasih
3 comments:
pas cerita anak-anak (dan novel lainnya) jadi, bagi2 ya, ris :) buat anakku ntar, hihihihi :D
Menulis sudah menjadi semacam cara untuk menyeimbangkan hidup saya.<--- iyy sama banget Lis!!! Jeda sebentar itu memang terkadang perlu, tapi nanti jangan lupa lanjutin tulisannya yah :)
yuk liburan biar bisa move on! :D
eh tapi skripsi kelarin dulu hehehe
Post a Comment