Sebisa mungkin saya mengingat bagaimana awal pertemuan saya dengan seseorang. Saya pernah menyukai seseorang yang dulu saya temui setiap pagi hampir setiap hari. Kami sama-sama berjalan menuju sekolah. Tapi sekolah yang berbeda. Setelah dia pindah ke sekolah saya, kami jadian. Dia pacar pertama saya. Rasanya lucu. Bagaimana semuanya telah diatur sedemikian rupa sampai akhirnya kami benar-benar berkenalan dan mulai mengobrol. Terlihat simple bagi saya.
Saya bertemu dengan Deiz untuk pertama kalinya di bis damri pada hari pertama kami jadi MABA. Dan sejak itu saya berteman sangat baik dengan dia. See? Saya rasa semesta ini memang telah mengatur semuanya. Bagaimana saya bertemu orang-orang yang terkadang dengan cara yang unik. Bukan Cuma sekedar “hai…kenalin, saya Liris” atau “hai..namamu siapa?” tapi selalu ada cerita dibalik sapaan itu. Bagaimana saya bertemu kalian. Bertemu kamu.
Saya bertemu kamu ketika kita sama-sama berkumpul, entah karena terpaksa atau memang kita mau, demi melaksanakan kebijakan kampus. Demi mendapatkan satu huruf cantik di transkip nilai kita. Bagi saya, tidak terlalu istimewa. Saya menikmati setiap momennya. Saya punya banyak teman baru. Tidak ada yang istimewa antara kita. Tapi saya ingat kamu. Sangat ingat. Saya bahkan ingat baju yang kamu pakai hari itu. Abu-abu bukan? Tapi bagi saya ini semua masih biasa-biasa saja. Mungkin karena kamu duduk tidak jauh dari saya dan kita sempat mengobrol sebentar. Itu semua terlalu biasa bagi saya.
Setelah menjalani semuanya. Kita berteman baik. Sama dengan yang lain, saya menikmati momen-momen tentang kita. Well, tidak benar-benar tentang momen-momen kita berdua. Selalu ada orang lain di dalamnya. Tapi saya menikmatinya. Saya nyaman bertukar pikiran dengan kamu. Saya nyaman berkeluh kesah dengan kamu. Saya nyaman mendengar cerita-cerita kamu. Saya nyaman jadi teman kamu.
Sampai…saya berada pada satu titik bahwa saya sadar saya punya rasa yang berbeda. Perasaan ini tidak mengganggu saya. Saya justru merasa sangat nyaman dengan itu. Tapi saya juga sadar saya salah telah membawa pertemanan kita terlalu jauh. Bahkan setelah kita sama-sama tahu tentang perasaan masing-masing saya kadang masih merasa bersalah. Saya selalu bilang, “gak ada yang salah sama perasaannya. Cuma waktunya yang nggak tepat.” Ya, rasanya sekarang semesta salah mengatur pertemuan kita. Haruskah kita bertemu pada situasi seperti itu? Rasanya tidak nyaman bagi saya dan kamu setelah menyadari bagaimana kita bertemu pada situasi yang seperti apa.
Maka, jika saya bisa mengatur bagaimana kita bertemu, saya berharap bertemu kamu dengan cara yang sederhana. Pada situasi yang sederhana pula. Saya berharap bertemu kamu ketika makan siang di dekat kampus. Kita saling senyum dan menyapa. Bisakah itu semua kita ulangi? Bisakah saya mengulangi kata-kata “hai…saya liris. Kamu?”
Have a nice day,
Liris.
No comments:
Post a Comment